Di saat bangsa Indonesia sedang bertransformasi menuju kesejajaran
dengan bangsa-bangsa lain dalam upaya pencapaian Tujuan Pembangunan
Milenium, hal itu tidaklah cukup dengan hanya menilai dari keberhasilan
dan kemajuan prestasi anak-anak Indonesia yang terpilih di ajang-ajang
internasional, sebutlah di Olimpiade Matematika atau Fisika misalnya.
Bahkan,
prestasi segelintir anak berprestasi tersebut bisa memberikan pesan
"menyesatkan" dan pembenaran atas berbagai fenomena pengabaian sebagian
besar anak yang tertinggal.
Tantangan Khusus
Anak-anak
yang hidup di daerah pedalaman Sumatera, Kalimantan, Papua dan
pulau-pulau lain adalah bagian nyata dari masyarakat bangsa yang tidak
cukup dicatat dalam angka partisipasi kasar dan murni maupun kelulusan
dalam Ujian Nasional (UN).
Mendidik anak-anak di daerah-daerah
terpencil merupakan tantangan khusus. Sebenarnya, jika tidak
direkayasa, angka kegagalan yang ada terbilang sangat tinggi yang
diakibatkan oleh berbagai sebab.
Sejatinya, guru-guru yang
ditugaskan untuk mendidik anak-anak itu harus melandaskan segala
pekerjaan dan pengabdiannya pada hati yang melayani. Tidak cukup bagi
guru untuk berbekal ijazah dan sertifikasi, dan buku paket. Guru perlu
mengembangkan strategi pembelajaran yang peka dan peduli terhadap
konteks budaya dan geografi di mana anak-anak ini tumbuh.
Strategi
pembelajaran yang efektif bagi anak-anak itu juga harus memperhatikan
beberapa aspek. Pertama-tama, guru perlu menghargai anak-anak tersebut
dan tidak terpengaruh oleh tampilan fisik dan indikator-indikator yang
diwarnai oleh bias perkotaan seperti mata pencaharian orang tua,
tingkat pendapatan, kemiskinan, penguasaan bahasa Indonesia, logat
berbahasa, dan cara berpakaian.
Lupakan dulu semua itu. Bias
semacam itu akan sangat berbahaya karena sudah membentuk paradigma di
kalangan para guru, bahwa anak-anak ini tidak akan berhasil.
Bahasa Daerah
Kunci
utama keberhasilan suatu proses pendidikan adalah keyakinan guru. Satu
keyakinan, bahwa segala yang dilakukannya akan membawa perubahan dan
anak didiknya akan menjadi lebih baik melalui proses di sekolah.
Kedua,
guru yang ditempatkan untuk mendidik anak-anak dari suku-suku yang
terpencil harus menghargai adat dan budaya setempat. Hal itu agar anak
tidak merasa dilecehkan dan ditolak dalam sistem pendidikan formal.
Jika
perlu, guru harus mendapatkan orientasi budaya sebelum penempatan
berupa pemahaman terhadap nilai-nilai dan norma-norma budaya setempat
termasuk penguasaan bahasa daerah untuk keperluan sehari-hari.
Seringkali, anak-anak di daerah pedalaman dianggap bodoh dan malas,
padahal, itu terjadi karena guru kurang memahami dan tidak bisa
berkomunikasi dengan anak-anak tersebut.
Memang, bahasa Indonesia
digunakan secara resmi sebagai bahasa pengantar dan persatuan. Namun,
tidak ada salahnya guru sedikit memahami bahasa daerah sebagai jembatan
untuk meraih hati anak-anak dan orang tua serta membantu menguraikan
pemaknaan dalam proses pembelajaran.
Tidak perlu ada kecemasan
terhadap pelunturan penggunaan bahasa Indonesia akibat pengaruh bahasa
daerah. Justru pada saat ini, dengan invasi modernisasi melalui
televisi dan internet sampai ke pelosok daerah, keprihatinan yang
seharusnya muncul adalah pelunturan dan kehilangan penggunaan bahasa
daerah.
Penghargaan terhadap adat dan budaya lokal bukan berarti
penerimaan terhadap semua praktik budaya yang mungkin bertentangan
dengan nilai-nilai hak asasi manusia dan demokrasi. Kadangkala, ada
praktik dan nilai budaya lokal, -misalnya, anak perempuan dinikahkan di
bawah usia,-- yang tidak sesuai dengan nilai-nilai universal
kemanusiaan. Dalam hal ini, guru perlu bersikap bijak sebagai aktor
transformasi dalam masyarakat.
Guru perlu belajar untuk
mengembangkan sikap-sikap yang bukan saja tidak konfrontatif agar tidak
menimbulkan resistensi dalam masyarakat, tetapi juga bisa membuka
wawasan agar ada transformasi nilai-nilai menuju kehidupan yang lebih
baik.
Akhirnya, dalam perencanaan dan pelaksanaan proses
pembelajaran, guru perlu mengupayakan agar anak bisa melihat
keterkaitan antara materi pelajaran dengan kehidupan mereka
sehari-hari. Guru perlu mengembangkan repertoar metode pembelajaran
termasuk kegiatan, permainan, dan lagu-lagu, serta media pembelajaran
yang relevan dengan kondisi setempat.
Ya, anak-anak di daerah
pesisir akan lebih termotivasi dan disapa ketika guru mengaitkan materi
pembelajaran dengan kehidupan di laut dan ke-nelayan-an anak-anak itu.
Demikian pula, berbagai kegiatan bercocok tanam akan menjadi jembatan
bagi anak-anak petani untuk memaknai materi dalam kurikulum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar