Senin, 23 Desember 2013

Pendidikan Pedalaman

Di saat bangsa Indonesia sedang bertransformasi menuju kesejajaran dengan bangsa-bangsa lain dalam upaya pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium, hal itu tidaklah cukup dengan hanya menilai dari keberhasilan dan kemajuan prestasi anak-anak Indonesia yang terpilih di ajang-ajang internasional, sebutlah di Olimpiade Matematika atau Fisika misalnya.
Bahkan, prestasi segelintir anak berprestasi tersebut bisa memberikan pesan "menyesatkan" dan pembenaran atas berbagai fenomena pengabaian sebagian besar anak yang tertinggal.

Tantangan Khusus
Anak-anak yang hidup di daerah pedalaman Sumatera, Kalimantan, Papua dan pulau-pulau lain adalah bagian nyata dari masyarakat bangsa yang tidak cukup dicatat dalam angka partisipasi kasar dan murni maupun kelulusan dalam Ujian Nasional (UN).
Mendidik anak-anak di daerah-daerah terpencil merupakan tantangan khusus. Sebenarnya, jika tidak direkayasa, angka kegagalan yang ada terbilang sangat tinggi yang diakibatkan oleh berbagai sebab.
Sejatinya, guru-guru yang ditugaskan untuk mendidik anak-anak itu harus melandaskan segala pekerjaan dan pengabdiannya pada hati yang melayani. Tidak cukup bagi guru untuk berbekal ijazah dan sertifikasi, dan buku paket. Guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang peka dan peduli terhadap konteks budaya dan geografi di mana anak-anak ini tumbuh.
Strategi pembelajaran yang efektif bagi anak-anak itu juga harus memperhatikan beberapa aspek. Pertama-tama, guru perlu menghargai anak-anak tersebut dan tidak terpengaruh oleh tampilan fisik dan indikator-indikator yang diwarnai oleh bias perkotaan seperti mata pencaharian orang tua, tingkat pendapatan, kemiskinan, penguasaan bahasa Indonesia, logat berbahasa, dan cara berpakaian.
Lupakan dulu semua itu. Bias semacam itu akan sangat berbahaya karena sudah membentuk paradigma di kalangan para guru, bahwa anak-anak ini tidak akan berhasil.
Bahasa Daerah
Kunci utama keberhasilan suatu proses pendidikan adalah keyakinan guru. Satu keyakinan, bahwa segala yang dilakukannya akan membawa perubahan dan anak didiknya akan menjadi lebih baik melalui proses di sekolah.
Kedua, guru yang ditempatkan untuk mendidik anak-anak dari suku-suku yang terpencil harus menghargai adat dan budaya setempat. Hal itu agar anak tidak merasa dilecehkan dan ditolak dalam sistem pendidikan formal.
Jika perlu, guru harus mendapatkan orientasi budaya sebelum penempatan berupa pemahaman terhadap nilai-nilai dan norma-norma budaya setempat termasuk penguasaan bahasa daerah untuk keperluan sehari-hari. Seringkali, anak-anak di daerah pedalaman dianggap bodoh dan malas, padahal, itu terjadi karena guru kurang memahami dan tidak bisa berkomunikasi dengan anak-anak tersebut.
Memang, bahasa Indonesia digunakan secara resmi sebagai bahasa pengantar dan persatuan. Namun, tidak ada salahnya guru sedikit memahami bahasa daerah sebagai jembatan untuk meraih hati anak-anak dan orang tua serta membantu menguraikan pemaknaan dalam proses pembelajaran.
Tidak perlu ada kecemasan terhadap pelunturan penggunaan bahasa Indonesia akibat pengaruh bahasa daerah. Justru pada saat ini, dengan invasi modernisasi melalui televisi dan internet sampai ke pelosok daerah, keprihatinan yang seharusnya muncul adalah pelunturan dan kehilangan penggunaan bahasa daerah.
Penghargaan terhadap adat dan budaya lokal bukan berarti penerimaan terhadap semua praktik budaya yang mungkin bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia dan demokrasi. Kadangkala, ada praktik dan nilai budaya lokal, -misalnya, anak perempuan dinikahkan di bawah usia,-- yang tidak sesuai dengan nilai-nilai universal kemanusiaan. Dalam hal ini, guru perlu bersikap bijak sebagai aktor transformasi dalam masyarakat.
Guru perlu belajar untuk mengembangkan sikap-sikap yang bukan saja tidak konfrontatif agar tidak menimbulkan resistensi dalam masyarakat, tetapi juga bisa membuka wawasan agar ada transformasi nilai-nilai menuju kehidupan yang lebih baik.
Akhirnya, dalam perencanaan dan pelaksanaan proses pembelajaran, guru perlu mengupayakan agar anak bisa melihat keterkaitan antara materi pelajaran dengan kehidupan mereka sehari-hari. Guru perlu mengembangkan repertoar metode pembelajaran termasuk kegiatan, permainan, dan lagu-lagu, serta media pembelajaran yang relevan dengan kondisi setempat.
Ya, anak-anak di daerah pesisir akan lebih termotivasi dan disapa ketika guru mengaitkan materi pembelajaran dengan kehidupan di laut dan ke-nelayan-an anak-anak itu. Demikian pula, berbagai kegiatan bercocok tanam akan menjadi jembatan bagi anak-anak petani untuk memaknai materi dalam kurikulum.


Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2009/11/02/10240835/Jangan.Lupakan.Pendidikan.di.Pedalaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar